Jumat, 20 November 2015

Membumikan Gagasan Ibn Khaldun


Menimbang Epigonisme dengan Empirisme Religius


Asumsi yang melekang kuat dalam benak masyarakat muslim selama berabad-abad adalah selepas runtuhnya Baghdad karena serangan bangsa Mongol, peradaban Islam menjadi mundur dan hancur. Peradaban Islam, baik di Timur maupun Barat, bergerak turun menuju titik nadir. Cerita kegemilangan dan optimisme sarjana raksasa Islam Klasik menguap. Berganti menjadi pesimisme dan glorifikasi atas tradisi dan warisan masa silam. Inovasi adalah sebuah kelangkaan. Sementara ketundukan dan kepasrahan adalah sikap yang dominan.
Banyak sejarawan sepakat dengan asumsi di atas. Bagi mereka, pasca keruntuhan Baghdad, peradaban Islam telah bangkrut dan gulung tikar. Yang tampil ke permukaan adalah sekadar pengulangan; tanpa berhasil menjelitkan nuansa baru. Budaya komentar (syarh), penjelasan (hasyiyah), ringkasan (talkhis) dan membikin syair (nudhum) adalah lebih dari sekadar bukti untuk meneguhkan tesis kemunduran dan kebangkrutan peradaban Islam.
Figur-figur brilian semodel Ibn Rushd yang mencoba mensinergikan antara syariat dengan filsafat, al-Farabi yang menggagas konsep “al-Madinah al-Fadhilah” dan Ibn Arabi dengan tawaran Wihdat al-Adyan-nya merupakan figur yang hampir mustahil terlahir kembali. Mayoritas para sarjana Islam Klasik sesudah mereka yang hidup pasca keruntuhan Baghdad memilih taklid (budaya epigonisme) dalam segala bidang sebagai corak dinamika intelektual. Sebuah genre yang bertolakbelakang dengan style dinamika intelektual pra keruntuhan Baghdad.
Sesungguhnya, opini di atas tidaklah sepenuhnya tepat. Bahwa peradaban Islam selepas jatuhnya Baghdad ke tangan Mongol tak berdaya, benar adanya. Namun, ia tak benar-benar mati. Beberapa sarjana besar juga terlahir dalam masa kegelapan Islam. Mereka tidak hanya mengekor. Mereka justru kelak menjadi sarjana besar karena inovasi-inovasi dan langkah-langkah intelektualnya yang begitu meraksasa. Teori-teori ilmiah mereka bahkan tetap eksis hingga masa sekarang.
Nyatanya, abad 14 yang dituding sebagai abad kemunduran berhasil melahirkan banyak sarjana-sarjana besar yang kelak masyhur dalam pelbagai diskursus keilmuan kontemporer. Dengan sadar, tulisan ini hendak memotret secara integral kiprah intelektual Ibn Khaldun, [1] salah seorang sarjana muslim kenamaan yang lahir pada abad yang disebut banyak orang sebagai abad kemunduran Islam; lahir dan tumbuh dalam era krisis multi dimensi. Masa di mana Islam dikepung oleh dua kekuatan imperialisme; dari Barat bergerak tentara Salib dan dari Timur, bangsa Mongol menyerang dan membabi buta. Masa yang diyakini tidak akan pernah menghasilkan intelektual-intelektual berkualitas global.
Tulisan ini pun berupaya merekam motif-motif intelektual sosok Ibn Khaldun. Pun bermaksud memotret ide-ide raksasa (dengan menjadikan konsep sosiologi dan filsafat sejarahnya sebagai sampel utama) Ibn Khaldun beserta relevansinya dalam era mutakhir ini. Terlebih, masyarakat dunia mengenal Ibn Khaldun sebagai pioner bagi kajian sosiologi modern. Dengan menampilkan Ibn Khaldun sebagai sebuah anomali, tulisan ini pun berusaha untuk membuktikan bahwa era chaos bagi peradaban Islam tak melulu paralel dengan lesunya dinamika intektualitas Islam Klasik. Dalam bahasa yang singkat, bahwa ternyata peradaban Islam belum pernah padam sebagaimana disangkakan banyak kalangan.
Sebagaimana disinggung di atas, penyerangan Mongol ke Baghdad 10 Februari 1258 membuat dinasti Abasiyyah takluk.[2] Iklim intelektual berganti dengan iklim peperangan yang tak kunjung henti. Abasiyyah terpecah dalam beberapa negara (dinasti) kecil –duwaylât, dalam istilah Arab. Baik kawasan Barat ataupun Timur. Siklus naik-turun dialami oleh negara-negara Islam. Realitas ini semakin mempertegas keyakinan bahwa kemunduran mulai menghinggapi peradaban Islam dalam segala bidang.
Namun, sebelum peradaban Islam menjadi lenyap, tergantikan oleh peradaban Barat yang tak enggan untuk mempelajari warisan Ibn Rushd, di Tunisia, terlahir Ibn Khaldun pada 27 Mei 1332 M; atau empat tahun sebelum kelahiran Timur Lenk. Sosok yang di kemudian hari menjadi figur fenomenal karena Muqaddimah-nya, dan juga karena konsep-konsep briliannya. Dengan nada yang sama, dalam buku klasiknya, Ibn Chaldun und Seine Kulturgeschichte Der Arabischen Reiche, Von Kriemer bersaksi bahwa kelahiran Ibn Khaldun, pada akhirnya mampu menyelamatkan iklim intelektualitas Islam. Terlebih dia merupakan tokoh yang mengawali perbincangan mengenai sejarah peradaban (Kulturgeschichte).[3] Bagi Kriemer, Ibn Khaldun tak hanya sekadar seorang figur sejarawan. Dia adalah tokoh cerdas yang besar dan eksis dalam diskursus intelektual karena gagasan-gagasannya.
Sekalipun terlahir dalam masa kemunduran peradaban Islam,[4] Ibn Khaldun justru besar dan tumbuh dalam suasana intelektual berkat didikan sang ayah, Muhammad. Ayahnya adalah penganut taat madzhab Maliki dan berguru langsung terhadap salah satu fuqaha Maliki bernama Abu Abdillah al-Zabidiy. Seorang pakar fikih otoritatif madzhab Maliki pada zamannya.  Pendidikan yang diterima dari ayahnya inilah yang banyak mempengaruhi sisi religiusitas seorang Ibn Khaldun. Layaknya penganut madzhab Maliki lainnya, pemahaman keagamaan Ibn Khaldun lebih banyak didominasi oleh gaya epigonisme.
Kepada ayahnya, Ibn Khaldun banyak belajar mengenai kajian-kajian fikih, utamanya fikih madzhab Maliki. Pun lebih memperdalamnya dengan berguru pada tokoh-tokoh lainnya. Penguasaannya yang mendalam atas kajian fikih madzhab Maliki inilah yang pada akhirnya mengantarkan Ibn Khaldun menduduki jabatan Qadhi al-Qudhat (hakim agung) sepanjang empat tahun. Sebuah jabatan yang menjerumuskan dirinya dalam kubangan konflik dengan para agamawan Mesir. Fanatisme madzhab dan ketundukan atas tradisi (epigonisme) menjadi demikian kentara dalam sosok Ibn Khaldun dalam kapasitasnya sebagai seorang pakar fikih.
Pada tahun 1347 M, yaitu masa di mana Abu al-Hasan, raja al-Muraniyyin berhasil menguasai Maghrib Tengah dan Afrika, serombongan sarjana-sarjana besar muslim dari Andalusia, Tilmasan dan Fas singgah dan menetap di Tunisia. Salah seorang dari mereka adalah pakar ilmu-ilmu eksakta dan filsafat tersohor di penjuru Maghrib bernama  Abu Abdillah Muhammad ibn Ibrahim al-Abiliy. Kepadanya, Ibn Khaldun berguru secara serius. Hingga bisa dikatakan, tokoh inilah yang banyak memberikan pengaruh mendalam pada Ibn Khaldun. Terlebih al-Abiliy merupakan sosok yang holistik. Dia merupakan seorang filsuf, ahli matematika, piawai dalam masalah kalam dan pakar dalam kajian sejarah, politik dan ekonomi.[5]
Pemahamannya atas kajian filsafat, nyatanya memberikan kontribusi yang positif bagi kemampuan intelektualnya. Alih-alih menerima filsafat tanpa reserve, Ibn Khaldun banyak memberikan "catatan" bagi konsepsi-konsepsi filsafati. Ibn Khaldun, layaknya al-Ghazali dan Ibn Taymiyyah, pun mengalami fase meragu-kritis (al-Syakk al-Naqdiy) atas beberapa ajaran filsafat. Jika al-Ghazali meragu pada kemampuan akal untuk bisa merengkuh kebenaran sejati (al-Haqq), dan saat Ibn Taymiyyah gamang pada keabsahan "al-kulliyyât al-'aqliyyah al-'ammâh", maka Ibn Khaldun tidak meyakini klaim filosof yang mendaku mengetahui segala sesuatu dengan perantaraan silogisme Yunani. Bagi Ibn Khaldun, rumusan-rumusan logika formal ala Aristoteles yang begitu dipedomani oleh para filosof Islam, pada banyak aspek, berseberangan dengan kebenaran alami yang bersumberkan kemampuan inderawi.[6]
Ibn Khaldun dengan tegas menafikan keabsolutan kebenaran yang berdasar pada kaidah mantik. Penafian ini berdasar pada fakta bahwa kesesuaian antara konklusi (natijah) sebuah tindakan silogikal dengan output persepsi inderawi tidaklah meyakinkan; sebatas dugaan semata.[7] Fase meragu inilah yang menjadi pondasi bagi idealitas madzhab empirisme yang diimani oleh Ibn Khaldun. Sebuah madzhab empirisme yang telah terdivergensi.[8] Empirisme yang bergulat mesra dengan aspek-aspek religiusitas Ibn Khaldun. Idiom "divergensi empirisme" di sini bermaksud bahwa dalam ranah teologis-praksis, Ibn Khaldun cenderung sengaja tidak konsisten dalam berpegang teguh pada metode empirismenya. Sebab sangat mustahil menarik teori dan hipotesa teologi dalam kancah empirisme sejati yang menuntut pembuktian dan observasi secara mendalam dan berkesinambungan.
"Pengkhianatan" (jika kita tak keberatan dengan penggunaan istilah ini) Ibn Khaldun pada madzhab empirisme bukan lah sebuah tuduhan yang serampangan. Jika dicermati, konsep empirisme ala Ibn Khaldun mengalami perbedaan yang signifikan dengan empirisme kepunyaan tokoh-tokoh lain semisal John Locke. Layaknya para penganut empirisme, filsuf berkebangsaan Inggris John Locke (1632) yang masyhur dengan konsep "tabula rasa"-nya meyakini bahwa pengetahuan yang berbasiskan empirisme adalah pengetahuan yang bersifat paripurna. Meski tokoh ini juga tidak menegasikan adanya pengetahuan yang berbasis intuisi dan berdasar atas argumentasi. Tokoh ini juga menolak anggapan bahwa manusia mempunyai pengetahuan yang fitri adanya (innate ideas).[9]
Poin terakhir itu  yang menjadikan Locke dengan Ibn Khaldun kian berbeda. Sebagaimana al-Ghazali, Ibn Khaldun berasumsi bahwa dalam akal manusia terdapat pengetahuan dasar dan potensi untuk mengembangkan pengetahuan yang ada. Bagi penulis, sikap yang diambil Ibn Khaldun dapat dimengerti. Ia merupakan sebentuk jalan tengah di saat Ibn Khaldun tetap bersikukuh mengimani empirisme dan ketidakmungkinannya melepas baju religiusitasnya sebagai seorang muslim. Ibn Khaldun masih saja meyakini akan adanya "kebenaran lain" (meta-kebenaran) selain kebenaran yang bersumber dari metode empirismenya. Upaya mendialogkan dua aspek yang berlainan dalam pribadi Ibn Khaldun nampak jelas dalam keyakinannya bahwa manusia hanya mampu mengetahui alam fisika. Adapun hal yang berkaitan dengan dunia metafisika menjadi tanggungjawab agama. Ia sepakat dengan para kaum sufi, bahwa perjalanan menuju alam metafisika dapat ditempuh melalui zuhud.
Beberapa sikapnya terhadap agama kian menegaskan asumsi bahwa Ibn Khaldun bersikukuh mempertemukan madzhab empirisme dengan pengetahuan agama yang dimilikinya. Salah satu konsekwensi Ibn Khaldun dalam mendamaikan doktrin agama dan madzhab empirisme adalah kegagalannya dalam memaksimalkan implementasi madzhab empirisme dalam buku "al-'Ibar wa Diwan al-Mubtada' wa al-Khabar fı Ayyam al-`Arab wa al-`Ajam wa al-Barbar wa man 'Asarahum min Dhawı al-Sultan al-Akbar" secara total.[10] Bahkan jika dicermati, sikap yang dipilih Ibn Khaldun itu, membuat Mukaddimat sendiri terasa bagai dua sisi mata uang. Pada bagian awal Mukaddimat, Ibn Khaldun menjelma sebagai sosok penganut empirisme taat dan di bagian akhir , dia tetap tak bisa beranjak dari kungkungan budaya epigonisme.

Menuju Objektivikasi Târîkh
Sebuah kesaksian menarik terekam dalam tulisan Ben Saleem Hamees. Mencoba mengkaji Ibn Khaldun dan buah pemikirannya melalui pisau bedah kontemporer, strukturalisme, dia berujar:
"..Kita tak perlu heran, bagaimana Ibn Khaldun –dengan segala kekayaan konsep briliannya- terlahir pada masa kemunduran. Sebab, jika dia hidup dalam masa yang tenang dan tentram, maka dia hanyalah sekedar penulis buku sejarah, atau pakar fikih dan praktisi politik-prolifik. Tapi karena dia berada dalam sebuah masa di mana kehampaan meraja, maka dia menjelma sebagai pemikir yang melawat ke sebalik sejarah.."[11]
Kutipan di atas bermaksud memberikan sebuah informasi awal bahwa inovasi-inovasi brilian Ibn Khaldun dalam pelbagai bidang dan kajian lebih banyak terbantu oleh kian terpuruknya kondisi peradaban Islam. Dengan merujuk kembali kepada fase meragu-nya Ibn Khaldun, secara terang dapat diketahui bahwa pada masanya, dominasi logika formal Aristoteles belumlah mereda. Sebagaimana al-Ghazali dan Ibn Taymiyyah, perlawanan terhadap hegemoni logika klasik Aristoteles pun dilakukan oleh Ibn Khaldun. Hanya saja, Ibn Khaldun menjadikan perlawanannya atas mantik (yang terepresentasikan dalam konsep syakk naqdiy-nya) sebagai titik tolak sekaligus inspirasi bagi upayanya dalam melakukan pembahasan atas kajian fenomena sejarah. Inilah yang membedakannya dengan para sarjana Muslim klasik lainnya yang hidup sebelum Ibn Khaldun.  Para sarjana klasik Muslim sebelum Ibn Khaldun lebih banyak menggunakan "desakralisasi mantik" sebagai spirit pembaruan dan inovasi dalam diskursus seputar fikih dan kalam.[12]
Secara brilian, Ibn Khaldun mengaplikasikan al-naqd fi tamhish al-hadits (daya kritis yang kerap dipakai dalam pembuktian validitas transmisi hadits) dalam proses validasi historiografi. Bagi Ibn Khaldun, penulisan sejarah model generasi awal seperti al-Waqidiy dan Ibn Hisyam dapat diuji keabsahannya dengan metode al-jarh wa al-ta’dil karena masih mengedepankan pola transmisional (sanad). Yang mengagumkan dari Ibn Khaldun adalah ketika dia menyodorkan satu tesis bahwa sejarah tidak hanya sekadar penceritaan ulang atas peristiwa yang terjadi di masa silam.
Namun lebih dari itu, bahwa sejarah juga harus dipahami sebagai sebuah proses yang menyampaikan informasi berkaitan dengan sebab-musabab kejadian sebuah peristiwa. Kajian sejarah juga harus mau menyajikan anasir-anasir yang mendukung dan menghambat pergerakan sebuah peradaban yang telah lewat. Di dalam hal ini, terlihat Ibn Khaldun tengah masuk dalam sebuah kajian baru yang dalam era kontemporer, kita mengenalnya sebagai kajian filsafat sejarah yang oleh banyak sarjana Barat disematkan kepada filsuf berkebangsaan Italia, Vico.
Hebatnya, di tangan Ibn Khaldun, kajian historiografi mengalami pergeseran makna yang sangat signifikan. Historiografi, galibnya, layaknya di benak para historian (sejarawan) klasik macam al-Thabari dan al-Mas'udiy selalu saja bermakna penceritaan ulang atas kisah-kisah nabi dan para raja. Para historian klasik menghabiskan berjilid-jilid kertas hanya untuk bercerita tentang keluarga raja dan para keturunannya. Sebagai deskripsi lanjutan, dapat penulis ketengahkan di sini komparasi model-model metode historiografi yang dianut oleh beberapa sejarawan klasik. Al-Thabari dalam pengantar buku sejarahnya yang klasik itu, Tarikh al-Umam wa al-Muluk menjelaskan bahwa dia hanya mencukupkan diri dengan menyalin secara utuh sebuah peristiwa tanpa disertai kritisisme atas transmisi dan redaksi. Sementara Abu al-Hasan Ali ibn al-Husayn al-Mas'udiy dalam pengantar untuk buku sejarahnya yang berjudul Muruj al-Dzahab wa Ma'adin al-Jawahir fi al-Tarikh,[13] sedikit banyak telah melakukan terobosan baru dengan menyertakan nalar kritis dalam setiap penerimaannya terhadap sejarah. Dia hanya menerima kabar-kabar yang masyhur saja.[14] Tragisnya, "penyakit" yang sama juga melanda al-Maqrizi.[15] Seorang sejarawan yang satu masa dengan Ibn Khaldun.
Dan pada akhirnya, sikap berbeda diambil Ibn Khaldun. Alih-alih mengekor, Ibn Khaldun memberikan sinaran baru dalam kajian historiografi. Gaya bertutur semacam itu yang ditentang habis-habisan oleh Ibn Khaldun. Ibn Khaldun menyodorkan alternatif dengan menjadikan historiografi lebih memfokuskan diri pada sejarah masyarakat dan peradabannya seraya menginformasikan konstruksi sebuah peristiwa dan sebab-akibatnya. Lebih dari itu, Ibn Khaldun (dengan tanpa mengurangi apresiasi pada historian generasi pertama macam Ibn Ishaq, al-Thabari dan al-Mas'udiy) mengecam keras madzhab narativisme (al-târîkh al-washfiy) yang menjadi mainstream para historian Muslim terdahulu.[16]
Kegeraman Ibn Khaldun pada madzhab narativisme memang beralasan. Terlebih gaya narativisme ini lebih didominasi oleh ketundukan pada sumber data dan fakta historis. Para sejarawan klasik gagal dan enggan melakukan verifikasi terkait dengan data dan fakta historis.[17] Dalam analisa Ibn Khaldun, kegagalan ini disebabkan oleh berbagai faktor. Pertama, pencukupan atas data dan fakta historis yang tersedia dalam lingkup madzhabnya. Kedua, kepercayaan berlebihan terhadap narasumber. Ketiga, kegagalan memahami motif sebuah persitiwa sejarah. Keempat, keberpihakan yang kental pada tokoh-tokoh besar. Kelima, ketidakmampuan dalam memahami karakteristik sebuah komunitas. Kritik pedas Ibn Khaldun juga terlontar kembali kepada sederetan sejarawan klasik semodel Ibn Hisyam, Ibn Ishaq, al-Waqidiy, al-Baladzariy, Ibn Abdul Hakam al-Mishriy, al-Thabariy, al-Mas'udiy dan Ibn al-Atsir. Oleh Ibn Khaldun, mereka semua dianggap tidak dapat mensterilkan kajian historiografi sebagaimana yang termanifestasikan dalam buku-buku sejarah karya mereka dari mitos dan takhayul. Bagi Ibn Khaldun, buku sejarah yang ideal adalah buku yang enggan memuat cerita rekaan, mitos, dan khurafat. Bahkan, buku sejarah harus sepi dari cerita-cerita yang berlawanan dengan karakteristik masyarakat sekalipun.[18]
Selain melakukan kritik, Ibn Khaldun tercatat melakukan koreksi atas kesalahan-kesalahan dalam buku-buku sejarah klasik. Sebagai misal, Ibn Khaldun menganggap data yang menyebutkan secara pasti angka tentara Bani Israil dan pengikut Musa dalam buku sejarah karangan al-Mas'udi sebagai kabar yang jauh dari nilai-nilai kebenaran. Ibn Khaldun berpendapat, informasi itu menyesatkan karena informasi tersebut terkait dengan jumlah bilangan. Kemudian ada al-Bakriy yang menceritakan sebuah mitos tentang keberadaan satu kota yang memiliki 10.000 gerbang. Cerita ini pun diyakini oleh Ibn Khaldun sebagai rekaan semata karena tidak adanya persesuaian dengan karakter masyarakatnya.[19] Bagi Ibn Khaldun, aspek posibilitas dan imposibilitas sebuah sejarah dapat dibuktikan dengan pengetahuan yang memadai terhadap fenomena riil dan pemahaman secara mendalam agar dapat menemukan ciri khasnya serta sejauh mana tingkat kenisbiannya.
Di sini, terlihat Ibn Khaldun tengah menawarkan sebuah metode penceritaan sejarah yang lebih elegan bila disandingkan dengan madzhab narativisme. Metode yang dalam dunia historiografi kontemporer dikenal dengan metode strukturalisme; sebuah anti tesa atas metode narativisme. Dengan mengimani metode ini, Ibn Khaldun hendak menyampaikan kepada publik bahwa kajian sejarah yang ideal harus berdiri pada sebuah pondasi utama, yaitu upaya menyibak motif keberlangsungan sejarah. Dengan berpijak atas platform tersebut, akan dapat diketahui bahwa dalam setiap proses sejarah manapun terdapat kaidah-kaidah historis bersifat universal dan parsial.[20] Selebihnya, sejarawan juga  tidak hanya merasa cukup dengan kekayaan data dan fakta historis semata, namun punya kewajiban untuk memahami perangkat-perangkat lain sebagai alat bantu dalam proses penulisan sejarah.[21]
Keyakinan Ibn Khaldun di atas bahwa konsep kajian historiografi harus mengambil bidikan utama berupa peradaban masyarakat terlihat mengalami persenyawaan dengan konsep historiografi yang digulirkan oleh Arnold Joseph Toynbee, seorang sejarawan besar berkebangsaan Inggris. Toynbee berpendapat, medan kajian sejarah kontemporer hendaknya lebih terfokuskan pada komunitas yang tak tersekat oleh batasan negara dan golongan politik tertentu. Bahkan, bukan tidak mungkin jika konsep Toynbee tersebut terilhami oleh pemikiran Ibn Khaldun. Terlebih, dengan jujur dan terbuka, Toynbee memberikan apresiasi yang hangat pada Ibn Khaldun yang termaktub dalam karya-karyanya.[22]
Pada akhirnya, gagasan-gasan cerdas Ibn Khaldun dalam kajian historiografi hendak mengarah pada satu tujuan mulia. Dengan ide-ide inovatifnya itu, Ibn Khaldun tengah berupaya menanamkan satu hal yang oleh Karl Jaspers disebut sebagai "kesadaran sejarah". Ia adalah sebentuk kesadaran yang disertai sebuah kemampuan dan kemauan untuk menempatkan entitas sejarah sebagaimana eksistensinya dalam sejarah yang telah berproses; sebagaimana sebenarnya berjalan (Wie es Eigentlich Gewesen).[23] Dan sejarah yang dicita-citakan oleh Ibn Khaldun adalah sejarah yang menjadikan studi sosial sebagai topik utamanya. Nyatanya, kecenderungan ini, sekarang menjadi mainstream dalam dunia historiografi.

Mengurai Lokus Gerak Perubahan Sosial-Politik
Berangkat dari keprihatinan terhadap sikap permisifisme para historian Muslim klasik yang tidak melakukan verifikasi data dan redaksi dalam kajian historiografi, Ibn Khaldun menganggap perlu adanya upaya untuk melakukan penyulihan atas materi-materi yang termuat dalam buku sejarah klasik yang berjilid-jilid. Upaya ini menjadi perlu diadakan agar sejarah mampu menampilkan cerita yang sesuai dengan kondisi yang berkembang di masyarakat. Ibn Khaldun memandang, kesalahan (ketidak akuratan data) yang terdapat dalam buku-buku sejarah klasik itu, salah satu penyebab pokoknya adalah karena para sejarawan klasik buta dengan fenomena-fenomena sosial kemasyarakatan. Mereka tidak mempunyai modal pemahaman yang kuat atas karakteristik sebuah komunitas masyarakat.[24]
Pun Ibn Khaldun menganggap kajian atas fenomena sosial kemasyarakatan yang dilakukan oleh para sarjana klasik sebelumnya belumlah mencukupi. Mereka, para sarjana klasik, mengkaji fenomena sebuah peradaban hanya dengan sekadar mendeskripsikannya, menganjurkan untuk menirunya atau bahkan memberikan gambaran dasar yang terkadang terkesan utopis. Bukan menganalisanya sehingga mampu menyibak  tabiat atau karakter serta kaidah-kaidah yang eksis dalam peradaban tersebut. Oleh karenanya, Ibn Khaldun berkeyakinan bahwa kajian atas fenomena sosial kemasyarakatan idealnya berdiri sebagai sebuah disiplin ilmu mandiri (Sui Generis). Satu disiplin ilmu yang belakangan dikenal dengan nama ilmu sosiologi. Berdasar fakta tersebut, banyak kalangan menganggap Ibn Khaldun sebagai "Bapak Ilmu Sosiologi"; jauh sebelum filsuf Perancis, Auguste Comte (1798-1857) melakukannya.[25]
Tak hanya faktor keprihatinan atas buku-buku sejarah klasik yang memuat cerita tidak akurat yang menggerakkan Ibn Khaldun merumuskan teori-teori baru berkenaan dengan fenomena sosial kemasyarakatan. Keyakinan Ibn Khaldun pada gerak evolusi pada peradaban sebagai sebuah keniscayaan juga ikut berpengaruh dan membantu Ibn Khaldun dalam merumuskan konsep-konsep sosiologinya. Ibn Khaldun memandang bahwa salah satu karakteristik fenomena sosial kemasyarakatan tidak bergerak linear, apalagi monoton. Ia akan punya banyak varian terkait dengan ragam masyarakatnya. Bahkan akan mengalami ketidaksamaan pula, sekalipun dalam satu komunitas, jika terdapat perbedaan kurun dan waktu. Jika demikian, adalah sebuah kemustahilan terjadinya persamaan di dua komunitas dalam fenomena-fenomena sosial kemasyarakatannya.[26]
Demi membumikan gugusan konsep dan gagasan sosiologinya, Ibn Khaldun merumuskan sebuah metode. Ibn Khaldun melandaskan kajian sosiologinya pada observasi paripurna atas fenomena masyarakat dalam sebuah bangsa atau negara, baik tingkat rawan konfliknya, korelasi dengan generasi sebelumnya serta menganalisa beberapa ciri mendasar, juga inter relasi dan jalinan komunikasi. Maka, tak mengherankan, jika metode sosiologi ala Ibn Khaldun ini terdiri dari dua tahapan. Pertama, studi empirik-induktif-historik (yang terejawantahkan dalam obervasi). Kedua, analisa mendalam guna menghasilkan konklusi berupa kaidah-kaidah. Terkait dengan observasi, Ibn Khaldun menggarisbawahi pentingnya menjadikan fenomena masyarakat sebagai sesuatu  (entitas) yang eksis dan riil. "Wejangan" Ibn Khaldun tersebut di kemudian hari menjadi pokok bagi madzhab Positivisme yang diimani oleh Auguste Comte dan Emile Durkheim. Dalam aliran Positivisme, fenomena masyarakat ditempatkan sebagai entitas riil, bukan sebagai "sesuatu" yang abstrak.[27]
Mengawali kajian sosiologinya, Ibn Khaldun mencoba mendedahkan entitas masyarakat  (peradaban) serta karakteristik yang melingkupinya. Baginya, entitas sebuah masyarakat dapat disingkap dengan menggunakan tiga piranti. Pertama, sebab-sebab kemunculan masyarakat. Kedua, pengaruh kondisi geografis pada proses pembentukan fisik maupun non fisik. Ketiga, pengaruh kekuatan metafisika terhadap kehidupan masyarakat. Dalam menelisik faktor pendorong kemunculan masyarakat, Ibn Khaldun mengawalinya dengan mengutip postulat Aristoteles yang menyatakan bahwa pada dasarnya, manusia merupakan makhluk politik. Dengan politik manusia berupaya agar dapat bekerja sama untuk memenuhi kebutuhan pokok dan mempertahankan diri.
Hanya saja, postulat klasik itu oleh Ibn Khaldun diintrodusir sedemikian rupa sehingga mendapatkan penafsiran yang berbeda. Ibn Khaldun mempertautkan postulat tersebut dengan realitas konstruksi sosial masyarakat dan dengan tingkat kebutuhan alamiah masyarakat (manusia) layaknya makan dan upaya mempertahankan eksistensinya. Berdasar atas pertautan itu, Ibn Khaldun menyimpulkan bahwa kebutuhan terhadap materi merupakan faktor penentu dalam proses (kemunculan) peradaban.[28] Konklusi semacam itu yang belum diungkap oleh para sarjana lain sebelum Ibn Khaldun. Kecenderungan materialisme dalam diri manusia mengakibatkan munculnya kesadaran bahwa mereka (manusia) tidak dapat mempertahankan eksistensinya tanpa peran serta dari yang lain. Dan pada akhirnya, kesadaran untuk saling membantu melahirkan banyak varian peran kehidupan yang dapat dijalankan oleh masing-masing manusia agar saling melengkapi satu sama lainnya. Dampak langsung dari ragam fungsi sosial manusia sebagai instrumen asasi peradaban adalah terjadinya kesepakatan berupa aturan-aturan yang mengikat mereka semua. Akibat adanya aturan tersebut, kebutuhan terhadap sosok pemimpin yang bertujuan untuk mengawal tegaknya kesepakatan menjadi tak terelakkan.
Berdasarkan fakta bahwa kebutuhan terhadap pemimpin adalah kebutuhan natural, Ibn Khaldun menyerang konsep "al-Madinat al-Fadhilah"-nya al-Farabi yang dianggap memberikan gambaran sebuah masyarakat yang mengawang. Terlebih konsep tersebut menyiratkan bahwa idealitas sebuah masyarakat dapat tercapai bila masyarakat tersebut mampu lepas dari ketergantungannya pada pemimpin. Di sini, Ibn Khaldun nampak tengah menyajikan batasan definitif baru bagi masyarakat. Dia tak memberikan batasan definitif teologis maupun politis, namun menganggap masyarakat (peradaban) sebagai sebuah perkumpulan yang berdiri atas prinsip kerja sama. Bermodalkan telaah empirisnya atas faktor-faktor penyebab kemunculan peradaban, Ibn Khaldun sampai pada sebuah tesa baru, bahwa sejatinya masyarakat dan negara tidak lah dapat berjalan beriringan, sekalipun nyatanya, masyarakat mustahil eksis tanpa wujud kekuatan politik.[29]
Gagasan-gagasan genial Ibn Khaldun tak hanya terhenti di situ. Dengan penguasaan  materi kajian geografi yang termuat dalam buku Ptolemus dan al-Idrisiy, juga pendapat-pendapat al-Mas'udiy, Ibn Rushd dan Ibn Sina, Ibn Khaldun mencoba membuktikan adanya pengaruh signifikan dari iklim dan letak geografis bagi perkembangan fisik dan psikis masyarakat. Oleh Ibn Khaldun, kondisi cuaca atau iklim, disinyalir memberikan tiga pengaruh signifikan bagi masyarakat. Pertama, memberikan beberapa ciri khusus dalam proses pembentukan badan. Kedua, dalam batas-batas tertentu, menjadikan adanya perbedaan dan kesamaan bagi semua daerah atau bangsa. Ketiga, memberikan pengaruh bagi perkembangan sejarah sebuah masyarakat. Upaya ini mendapat apresiasi positif dari akademisi Rusia, I.Y Kratsykovsky dengan menganggapnya sebagai langkah maju yang belum pernah dilakukan oleh sarjana manapun.[30] Ibn Khaldun pun melengkapi kajiannya dengan menambahkan data-data yang berkenaan dengan kajian etnografi dan demografi dalam kaitan relasinya dengan perkembangan peradaban (masyarakat).
Tak luput dari bidikan Ibn Khaldun adalah kajiannya terhadap fenomena sosial dengan mengambil sudut pandang pada kaidah-kaidah dan persepsi universal yang menjadi pokok dan dasar dalam pengaturan masyarakat serta kohesi sosial. Salah satu kaidah tersebut adalah kaidah yang berkenaan dengan konstruksi atau struktur luar masyarakat. Kaidah inilah yang oleh madzhab Emile Durkheim disebut sebagai "La Morphologie Sociale" yang diklaim diperkenalkan oleh Durkheim. Secara substantif, tesis itu bukanlah barang baru. Terlebih Ibn Khaldun telah mengintrodusirnya jauh-jauh hari dalam Muqaddimah-nya.[31]
Yang menakjubkan, selain memperkenalkan substansi Morfologi Sosial, Ibn Khaldun juga mampu mendeskripsikan dengan akurat sejarah perkembangan masyarakat (peradaban). Bagaimanapun model konstruksi peradabannya, dalam benak Ibn Khaldun, ia takkan terlepas dari konsep sejarah perkembangan masyarakat yang dicetuskannya.[32] Olehnya, sejarah perkembangan masyarakat dipetakan menjadi tiga tahapan. Yang paling natural adalah fase primitif atau nomaden (al-Tawahhusy), kemudian memasuki fase tradisional (al-'Umran al-Badawi) dan terakhir, fase al-'Umran al-Hadhariy (masyarakat sipil; sedentary societies). Umur ketiga fase tersebut, amat tergantung pada tingkat produktivitas perekonomiannya. Tak mengherankan, jika Ibn Khaldun berkeyakinan bahwa syarat asasi bagi eksistensi sebuah masyarakat adalah adanya jaminan bagi hak milik individu sebagai manifestasi sistem perekonomian parsial. Berdasarkan pada konsep jaminan keamanan bagi hak milik individu, Ibn Khaldun membangun teori-teori ekonominya, utamanya teori tata negara dan politik.[33]
Bagi Ibn Khaldun, jaminan atas hak milik individu dapat terlaksana jika sistem politik dalam masyarakat tersebut telah tersedia. Wujud dari berjalannya sistem politik-kekuasaan adalah adanya pemimpin yang kebijakannya dipatuhi oleh segenap lapisan masyarakat. Dalam konteks sejarah peradaban (masyarakat), sistem politik kekuasaan, terutama terkait dengan prosesi pengangkatan pemimpin mempunyai korelasi kuat dengan konsep ashabiyyah (fanatisme), selain kedua faktor lainnya yakni faktor ekonomi dan agama, terlebih jika tipe masyarakat tersebut adalah masyarakat tradisional (al-Mujtama' al-Badawiy).[34] Jabiri, dalam disertasinya yang berjudul al-‘Ashabiyyah wa al-Dawlah: Ma’âlim Nadzariyyah Khaldûiyyah fit Târikh al- Islâmî juga memberikan afirmasi yang senada. Dengan meminjam piranti "bawah sadar politik"-nya Regis Debray, Jabiri sampai pada kesimpulan bahwa ada tiga hal penting di balik bangunan nalar politik Arab-Islam yaitu kabilah, akidah dan ghanimah. Bagi penulis, tiga faktor tersebut, sejatinya merupakan pengulangan atas konsep Ibn Khaldun walau dengan redaksi yang berbeda. Ibn Khaldun membahasakannya dengan ashabiyyah, al-da'wah al-diniyyah dan madzhab fil ma‘âsy ghairat thabî‘i.[35]
Beberapa pandangan maju Ibn Khaldun berkaitan dengan dunia politik kekuasaan juga terbukti mempunyai daya tahan dan diakui relevansinya. Selain karena kenetralannya, ide-ide tersebut merupakan ide segar yang menabrak kebekuan sistem politik saat itu. Terutama dalam wilayah Arab. Terkait dengan pemimpin, Ibn Khaldun memberikan gambaran bagaimana kriteria seorang pemimpin. Pemimpin, ujar Ibn Khaldun, haruslah  seorang yang adil, berwawasan luas dan cakap. Dia juga dengan lugas menegasikan prasyarat klan Quraisy dari keabsahan kriteria pemimpin.[36] Dengan sadar, Ibn Khaldun telah mengambil sikap yang bertolak belakang dengan mayoritas fuqaha, termasuk al-Mawardi di dalamnya. Ibn Khaldun mencoba melakukan penafsiran ulang atas persyaratan klan Quraisy. Dengan mengacu pada konsep 'ashabiyyah-nya, dia meyakini bahwa syarat klan Quraisy tersebut muncul karena seorang pemimpin membutuhkan legitimasi yang kuat dalam melaksanakan amanat undang-undang. Dan legitimasi politik saat itu hanya bisa diperoleh dari klan Quraisy yang notabene merupakan suku terkuat. Jika demikian, ketika dominasi tidak lagi berada di tangan Quraisy, maka faktor 'ashabiyyah yang akan mampu menjadi determinannya.

Ibn Khaldun dalam Perspektif Kekinian
Sekalipun gagasan Ibn Khaldun termasuk dalam kategori melampaui jamannya, ide besar Ibn Khaldun, baik dalam kajian filsafat sejarah dan sosiologi tak mendapatkan apresiasi sepantasnya dari generasi sarjana muslim sesudahnya. Wacana yang diangkat Ibn Khaldun tak lebih sebagai gagasan periferal; terasingkan. Atau meminjam gugatan Syed Farid Alatas, “why should a social thinker like Ibn Khaldun be excluded from the serious study of the history of sociology, sociological theory or historical sociology?[37]
Dalam analisa Syed Farid Alatas, keterkucilan Ibn Khaldun dari pentas sosiologi kontemporer dikarenakan kecilnya simpati dan pengakuan sarjana Barat terhadap konsep sosiologi yang digagas pihak non Barat. Analisa Syed Farid Alatas bisa saja dibenarkan. Faktanya, hanya ada sedikit sarjana Barat yang mengakui bahwa Ibn Khaldun merupakan pendiri sosiologi. Beberapa dari sedikit itu antara lain, Von Kriemer, Robert Flint, Ludwig Gumplowizc dan Franz Oppenheimer. Menurut amatan penulis, keterasingan Ibn Khaldun beserta gagasannya lebih banyak disebabkan oleh minimnya kesadaran para sarjana muslim sesudah Ibn Khaldun untuk melanjutkan konsepnya. Boleh dibilang, Ibn Khaldun tak mempunyai murid yang dapat mengawal kekokohan konsepsinya.
Apresiasi sarjana muslim atas konsep Ibn Khaldun baru merebak pasca ide pembaharuan mulai berkumandang. Kita mengenal Abdullah Laroui yang membandingkan Ibn Khaldun dengan Niccolo Machiavelli, Ali Abdul Wahid Wafi yang membandingkannya dengan Auguste Comte, Abdul Aziz Izzat yang mengkomparasikannya dengan Emile Durkheim, dan Fuad Bali yang mempersandingkannya dengan Karl Marx.
Upaya beberapa sarjana muslim melakukan komparasi gagasan Ibn Khaldun dengan gagasan para pengkaji sosiologi di era modern pada dasarnya sebuah langkah untuk membuktikan kepada publik bahwa Ibn Khaldun merupakan pendiri ilmu sosiologi. Sekalipun demikian, fakta itu tak bisa mengabaikan bahwa para sarjana Barat lah terhitung semenjak era Rennaisance yang mendominasi kajian sosiologi. Fakta tersebut juga tak bisa mengaburkan, betapa beberapa kalangan intelektual, baik dari pihak Barat ataupun Islam sendiri yang meragukan otentisitas gagasan Ibn Khaldun. Dari kalangan Islam ada Mahmud Ismail yang gigih meruntuhkan klaim originalitas pemikiran Ibn Khaldun, sedang di Barat ada H.A.R Gibb yang meragukan keaslian metode Ibn Khaldun yang dianggapnya hanya mengadopsi dari sarjana sebelumnya.[38]
Meski tak sedikit yang bersuara nyinyir atas penyematan konsep sosiologi pada Ibn Khaldun, nyatanya, banyak kalangan yang bersikukuh bahwa Ibn Khaldun adalah peletak dasar konsep-konsep sosiologi kontemporer yang lantas didaku sebagai karya original para sarjana Barat. Sebagai misal, dalam bukunya berjudul "Ibn Khaldoun; Naissance de L'Histoire passe du Tiers Monde", Yves Lacoste berkeyakinan jika sesungguhnya Ibn Khaldun adalah penggagas bagi metode materialisme-historisisme.[39] Satu metode yang selalu dikaitkan dengan metode dialektika materialisme aliran Marxisme.
Bagi penulis, klaim Lacoste bukanlah sebuah klaim gegabah. Sebab pada kenyataannya, Ibn Khaldun dalam Mukaddimahnya secara tegas menyatakan, "sesungguhnya, perbedaan antar generasi dalam beberapa sifatnya, berkelindan dengan perbedaannya dalam mata pencaharian." Pernyataan lebih tegas datang dari Syed Farid Alatas yang berkeyakinan jika konsep-konsep Ibn Khaldun tidak semuanya bersifat partikularistik dan temporal. Adalah sebuah keniscayaan bagi kajian sosiologi modern untuk menerima konsep-konsep sosiologi yang teleh dikembangkan oleh Ibn Khaldun sebelumnya.[40]
Sikap yang menganggap bahwa Ibn Khaldun merupakan pioner kajian sosiologi juga keluar dari Mahmoud Dhaouadi. Menurutnya, ada beberapa kesamaan yang nampak dalam konsep sosiologi Ibn Khaldun (Timur) dengan konsep sosiologi sarjana Barat Modern dan Kontemporer. Salah satu hal yang dipakai olehnya sebagai dalil adalah komparasi dalam tipologi masyarakat. Hampir mayoritas sosiolog Barat mengikuti Ibn Khaldun yang membagi masyarakat pasca primitif dalam dua bentuk. Ibn Khaldun menamakannya dengan tipe badawi dan hadhari, Durkheim dengan kategori mechanical dan organic solidarity society, Becker dengan sacred dan secular society, Lerner dengan traditional dan modern society, dan Parsons dengan pattern variables; particularism dan universalism oriented society.[41] Praktis hanya berbeda dalam istilah atau nomenklatur.

Kesimpulan
Betapapun, kiprah intelektual Ibn Khaldun tak bisa dinafikan begitu saja. Sebagai sosok yang terlahir ketika dunia Arab Islam tengah kehilangan simbol politik kekuasaan, tak menjadikan Ibn Khaldun terjebak dalam budaya defeatisme yang menjadi alternatif paling realistis bagi masyarakat Arab Islam. Dengan konsep sosiologi serta filsafat sejarahnya, Ibn Khaldun melalui ide briliannya itu mendapat pelbagai apresiasi dari sejumlah kalangan.
Selain sebagai pioner kajian sosiologi, Ibn Khaldun juga disebut sebagai penggagas bidang filsafat sejarah. Beberapa akademisi malah beranggapan, karya Ibn Khaldun berjudul Mukaddimah itu justru serupa bibit bagi kajian antropologi modern yang matang di tangan Barat.[42] Tak salah, bila kita menganggapnya sebagai bukti bahwa dunia Islam tak terlalu meratapi keruntuhan Baghdad yang selalu disalahpahami sebagai penyahih bagi kelesuan dunia intelektual Islam.[] Allahumma Inni As'aluka al-'Afwa wa al-'Afiyat wa al-Mu'afat. Najjihna Ya Rabb!.


[1] Ide dan kreasi serta terobosan tokoh besar ini pada mulanya, di kalangan Arab-Islam, praktis tidak mendapatkan apresiasi yang sepantasnya. Sosok ini terlahir dengan nama Abdurrahman ibn Muhammad ibn Muhammad ibn Muhammad ibn al-Hasan ibn Muhammad ibn Jabir ibn Muhammad ibn Ibrahim ibn Abdurrahman ibn Khaldun. Tentang Ibn Khaldun secara lengkap, lihat, Abdurrahman ibn Khaldun, (2006), al-Ta'rif bi Ibn Khaldun wa Rihlatuhu Gharban wa Syarqan, Cet. I, Cairo: al-Hay'at al-'Ammah li Qushur al-Tsaqafah, h. 1.
[2] Sebuah buku mencoba mendeskripsikan detik-detik kehancuran peradaban Islam di tangan pasukan Mongol secara gamblang dan lugas. Ini yang menyebabkan buku ini menjadi sebuah buku otoritatif dalam kajiannya. Untuk lebih jelasnya, lihat, Mushthafa Thaha Badar, (1999), Mihnat al-Islam al-Kubra; aw Zawal al-Khilafah al-'Abasiyyah min Baghdad 'ala Aydi al-Mongol, Cet. II, Cairo: al-Hay'at al-Mishriyyah al-'Ammah li al-Kitab.
[3] Kesaksian Von Kriemer tersebut dapat dijumpai dalam, T.J De Boer, (t.t), Tarikh al-Falsafah al-Islamiyah, Cairo: Lajnat al-Ta'lif wa al-Tarjamah wa al-Nasyr, h. 269.
[4] Analisa berbeda dikemukakan oleh Dr. Qasem Abduh Qasem dalam tulisannya yang berjudul Ibn Khaldun; Kayfa Qara'ahu al-Mu'arrikhûn. Baginya, Ibn Khaldun hidup pada masa-masa akhir menjelang masa kegelapan Arab. Menurutnya, kemunduran Arab (Islam) terhitung semenjak berkuasanya Dinasti Utsmaniyyah atas sebagian besar wilayah Arab. Lihat analisanya dalam, Dr. Qasem Abduh Qasem, (November 2006), Ibn Khaldun; Kayfa Qara'ahu al-Mu'arrikhûn, Vol.576, Kuwait: Majalah al-Arabiy, h. 66-69.
[5] Relasi antara Ibn Khaldun dan al-Abiliy digambarkan secara apik oleh Svetlena Batshiva, (1986), al-'Umran al-Basyari fi Muqaddimah Ibn Khaldun, Cairo: al-Hay'at al-Mishriyyah al-'Ammah li al-Kitab, h. 52-54. Banyak kalangan menunjuk al-Abiliy sebagai salu satu determinan bagi potensi intelektual Ibn Khaldun. Tapi dalam amatan yang lain, potensi intelektual Ibn Khaldun terasah karena karakternya yang selalu ingin berbuat hal yang berbeda dengan orang-orang disekitarnya. Lihat, Franz Rosenthal, (1983), Ibn Khaldun in his Time (May 27, 1332 - March 17, 1406), Journal of Asian and African Studies, 18, 166, h. 168.
[6] T.J De Boer, Op-Cit, h. 270-271.
[7] Kritik Ibn Khaldun terhadap filsafat dapat dijumpai dalam sebuah bab khusus yang bertajuk "Fashl fi Ibthâl al-Falsafat wa Fasâdi Muntahalliha". Untuk lebih jelasnya, lihat dalam, Ali Abdul Wahid Wafi (ed), Abdurrahman ibn Muhammad Ibn Khaldun, (2006), Muqaddimat Ibn Khaldun, Vol. III, Cairo: al-Hay'at al-Mishriyyah al-'Ammah li al-Kitab, h. 1080-1086.
[8] Dalam kajian filsafat, empirisme adalah sebuah teori pengetahuan yang menekankan peran eksperimentatif, terutama yang berkaitan dengan persepsi inderawi dalam sebuah kesatuan formasi ide atau gagasan. Pada masa klasik, madzhab ini terwakili oleh kalangan Shopis, Aristoteles. Di masa Islam Klasik, tokoh yang mengimaninya adalah Ibn Sina, Ibn Rushd dan Ibn Khaldun. Di Barat, empirisme mengenalkan pada kita sosok-sosok seperti Thomas Aquinas, Francis Bacon, Thomas Hobbes, John Locke, George Berkeley, David Hume, dan John Stuart Mill. Sekalipun demikian, empirisme antara satu tokoh dengan tokoh lainnya telah banyak mengalami perkembangan; untuk tidak menganggapnya sebagai sebuah penyimpangan atau deviasi.
[9] Tentang penjelasan lebih detail mengenai Tabula Rasa dan Innate Ideas dapat dilihat dalam, Azmi Islam, (t.t), John Locke, Cairo: Dar al-Tasaqafah, h. 56-57.
[10] Mahmud Ismail, (2000), Nihayat Usthurat Nadhariyyat Ibn Khaldun Muqtabasat min Rasa'il Ikhwan al-Shafa, Cairo: Dar al-Quba, h. 12.
[11] Ben Saleem Hamees, (2006), al-Khalduniyyah fi Dhaw'i Falsafat al-Tarikh, Cairo: al-Majlis al-A'la li al-Tsaqafah, h. 23.
[12] Lihat dalam Samiyah Hasan al-Sâ'âtîy, (2006), Ibn Khaldun Mubdi'an; Qira'at Jadidah li Fikrihi wa Manhajihi fi 'Ilm al-Ijtima', Cairo: al-Majlis al-A'la li al-Tsaqafah, h. 102-104. Bandingkan dengan sebuah artikel yang ditulis olehnya. Lihat dalam, Samiyah Hasan al-Sâ'âtîy, (Mei 2007), al-Syakk 'inda Ibn Khaldun, Vol.582, Kuwait: Majalah al-Arabiy, h. 23-27.
[13] Tokoh besar ini terlahir di Baghdad pada tahun 896 M. Oleh banyak kalangan, tokoh ini mendapat julukan Herodotus dari Arab. Sekalipun Ernest Renan lebih suka membandingkannya dengan penulis besar Yunani Kuno, Pausanias. Dalam kajian historiografi, al-Mas'udiy tercatat sebagai sarjana Arab pertama kali yang mengkombinasikan sejarah dengan pendekatan geografis dalam skala yang masif.
[14] Tentang komparasi metode historiografi beberapa mu'arrikh besar Islam Klasik dapat dijumpai dalam, Hasan al-Sa'atiy, (2006), 'Ilm al-Ijtima' al-Khalduniy; Qawa'id al-Manhaj, Cairo: al-Majlis al-A'la li al-Tsaqafah, h. 67-71.
[15] Tentang tokoh ini, silahkan baca, Dr. Qasem Abduh Qasem, (Januari 2006), al-Maqriziy; Syahidu 'Ashrihi, Vol.576, Kuwait: Majalah al-Arabiy, h. 154-157. Sayangnya, kajian yang dilakukan oleh Qasem Abduh Qasem lebih kental nuansa apologianya.
[16] Bagi para penikmat kajian historiografi dapat mengetahui dengan seksama bahwa metode narativisme banyak memiliki kelemahan. Salah satunya adalah bahwa narativisme kerap lebih banyak bercerita tentang orang-orang besar dan enggan berupaya memahami fenomena di balik sebuah peristiwa sejarah dan oleh karenanya ia cenderung literalistik; apa adanya.
[17] Uraian singkat mengenai kesadaran untuk memulai objektivikasi penulisan sejarah dapat dilihat dalam, Dr. Abdul Hakim al-Ka'biy, (September 2005), al-Tarikh wa Ma Wara'a al-Tarikh, Vol.562, Kuwait: Majalah al-Arabiy, h. 22-25. Dalam tulisan tersebut, digambarkan adanya kemiripan konsep dan analisa antara Ibn Khaldun di Islam dengan figur Vico di Barat, terutama dalam permasalahan penyebab kesalahan sejarawan.
[18] Bandingkan antara Ali Abdul Wahid Wafi (ed), Op-cit, Vol. I, h. 114-115 dengan Svetlena Batshiva, Op-cit, h. 134-136. Keyakinan Ibn Khaldun bahwa peristiwa sejarah harus mengalami persenyawaan dengan karakteristik masyarakat menghasilkan sebuah kaidah terkenal dalam dunia historiografi. Kaidah tersebut adalah relasi sebuah kejadian sejarah dengan keadaan di mana peristiwa sejarah tersebut terjadi merupakan relasi kausalitas. Kaidah ini memberikan pemahaman bahwa hampir mustahil sebuah kejadian sejarah akan berbeda satu sama lainnya jika keadaannya serupa. Untuk jelasnya, lihat, T.J De Boer, Op-Cit, h. 273-274.
[19] Samiyah Hasan al-Sâ'âtîy, Op-cit, h. 104-115.
[20] Svetlena Batshiva, Op-cit, h. 138-142.
[21] Penjelasan lebih dalam mengenai metode strukturalisme dalam kajian historiografi kontemporer dapat ditemukan dalam, Christhoper Lloyd, (1987), Explanation in Social History, London: Blackwell. Bagi Lloyd, strukturalisme merupakan alternatif ketika hendak mendeskripsikan bangunan sebuah peristiwa sejarah secara utuh.
[22] Lihat, Neevin Gomah Ilm al-Din, (1991), Falsafat al-Tarikh 'inda Arnold Toynbee, Cairo: al-Hay'at al-Mishriyyah al-'Ammah li al-Kitab, h. 21-26.
[23] Ben Saleem Hamees, Op-cit, h. 197-198.
[24] Ali Abdul Wahid Wafi (ed), Op-cit, Vol. I, h. 190-196.
[25] Sayangnya, asumsi itu ditolak dengan sengit oleh Thaha Husain. Adalah tindakan berlebihan menganggap Ibn Khaldun sebagai pendiri Ilmu Sosiologi. Dalam disertasinya, Thaha Husain menolak anggapan banyak kalangan yang menyatakan Ibn Khaldun sebagai Bapak Ilmu Sosiologi. Dia –Ibn Khaldun-, ujar Thaha Husain hanya sekadar mengangkat konsep-konsep partikular-parsial. Selengkapnya, lihat, Thaha Husain, (2006), Falsafat Ibn Khaldun al-Ijtima'iyyah; Tahlil wa Naqd, Cairo: al-Hay'at al-Mishriyyah al-'Ammah li al-Kitab, h. 70-73. Belakangan, Mahmud Ismail juga menganggap, ide-ide Ibn Khaldun hanya sekadar duplikasi dan plagiasi dari konsep dan gagasan Ikhwan al-Shafa. Untuk membuktikan tesanya, Mahmud Ismail mengarang sebuah buku berjudul "Nihayat Usthurat; Nadhariyyat Ibn Khaldun Muqtabasat min Rasa'il Ikhwan al-Shafa" yang menyulut perdebatan antar akademisi Arab. Dia juga mengarang buku lanjutan berjudul "Hal Intahat Usthurat Ibn Khaldun; Jadal Sakhin bayn al-Akademiyyin wa al-Mufakkirin al-Arab" yang merekam perdebatan para akademisi berkenaan dengan tesanya. Ironisnya, nada ramah keluar dari orientalis berkebangsaan Rusia dalam menyikapi tuduhan plagiasi yang dilakukan oleh Ibn Khaldun atas konsep Ikhwan al-Shafa. Svetlena Batshiva berpendapat, ada perbedaan yang sangat signifikan antara gagasan Ikhwan al-Shafa dengan ide yang dicetuskan oleh Ibn Khaldun. Lihat, Svetlena Batshiva, Op-cit, h. 222. Pembelaan untuk Ibn Khaldun juga terlontar dari para akademisi terkemuka dunia Arab seperti Dr. Zainab al-Khudhari, Dr. Hasan al-Sa'atiy dan rekan-rekan.
[26] Ali Abdul Wahid Wafi (ed), Op-cit, Vol. I, h. 197.
[27] Ada banyak kesamaan antara konsep Sosiologi yang digagas Ibn Khaldun dengan Auguste Comte. Secara metodologi dan pembagian kajian sosiologi pun serupa. Hanya saja, dalam pembagian wilayah kajian sosiologi, Comte membaginya menjadi 2 bagian terpisah, yaitu La Dynamique Sociale (al-Dirasat al-Tathawuriyyah –versi Ibn Khaldun) dan La Statique Sociale (al-Dirasat al-Tasyrihiyyah –versi Ibn Khaldun). Sementara Ibn Khaldun menjelaskan keduanya secara acak dan saling bercampur satu sama lainnya dan tentunya dengan istilah yang berbeda dari Comte. Perbedaan yang signifikan antara keduanya, bagi Ali Abdul Wahid Wafi selain berkutat pada kesimpulan akhir, juga pada motif kemunculan kajian sosiologi. Motif Comte mengembangkan kajian sosiologi adalah hasratnya untuk melakukan perbaikan masyarakat dan melepaskannya dari faktor-faktor kerusakan. Lihat, Ibid, h. 206-218.
[28] Samiyah Hasan al-Sâ'âtîy, Op-cit, h. 49-53.
[29] Ibid, h. 54-55.
[30] Svetlena Batshiva, Op-cit, h. 165-168.
[31] Samiyah Hasan al-Sâ'âtîy, Op-cit, h. 79-83.
[32] Thaha Husain, Op-cit, h. 95. Dengan obyektif, Thaha Husain memberikan pengakuan tulus bahwa konsep sejarah peradaban ala Ibn Khaldun (Thaha Husain menyebutnya sebagai Qanun al-Athwar al-Tsalatsah) merupakan konsep yang belum pernah digagas oleh orang lain. Sekalipun demikian, dia tetap memandang kritis konsep tersebut dengan menyebutnya sebagai konsep yang dilematis ketika dibawa ke ranah praksis.
[33] Svetlena Batshiva, Op-cit, h. 203.
[34] Para pengkaji Ibn Khaldun, baik dari kalangan Arab maupun orientalis banyak yang berbeda pendapat dalam mendefinisikan konsep 'ashabiyyah. Sebagian menganggap 'ashabiyyah sebagai fanatisme kesukuan, sebagian lagi mengartikannya sebagai sekumpulan spirit yang menyatukan manusia dalam sebuah komunitas masyarakat. Silahkan, buka, Svetlena Batshiva, Ibid, h. 204-205. Bandingkan dengan, Mishbah al-Amiliy, (1988), Ibn Khaldun; wa Tafawwuq al-Fikr al-'Arabiy 'ala Fikr al-Yunaniy bi Iktisyafi Haqa'iq al-Falsafah, Cet. I, Tripoli: al-Dar al-Jamahiriyah li al-Nasyr wa al-Tawzi' wa al-I'lan, h. 409.
[35] Ali Abdul Wahid Wafi menolak relevansi konsep-konsep politik kekuasaan model Ibn Khaldun seperti relasi 'ashabiyyah dan al-din dengan eksistensi kekuasaan. Dalam analisanya, pendapat-pendapat Ibn Khaldun berkenaan dengan politik kekuasaan tidak bisa berlaku universal karena konsep tersebut terlahir dari observasi yang kurang memadai. Ali Abdul Wahid Wafi juga tak sepakat dengan temuan Ibn Khaldun yang berisikan asumsi atas umur sebuah bangsa. Lihat, Ali Abdul Wahid Wafi (ed), Op-cit, h. 228-229.
[36] Thaha Husain, Op-cit, h. 145-146.
[37] Syed Farid Alatas, (Nopember 2006), Ibn Khaldun and Contemporary Sociology, Vol. 21 (6), Journal of International Sociology, h. 782.
[38] Ibid., h. 788.
[39] Yves Lacoste, (1982), Ibn Khaldoun; Naissance de L'Histoire passe du Tiers Monde, dialihbahasakan ke dalam bahasa Arab oleh Michael Sulayman dengan judul al-'Allamat Ibn Khaldun, Beirut: Dar Ibn Khaldun, cet. III, h. 193.
[40] Syed Farid Alatas, (2006), A Khaldunian Exemplar for a Historical Sociology for the South, 54, 397, Current Sociology, h. 407 - 408.

[41] Mahmoud Dhaouadi, (1990), Ibn Khaldun: The Founding Father Of Eastern Sociology, International Sociology, 5, 319, h. 329 – 330.
[42] Jon W. Anderson, (1983), Conjuring with Ibn Khaldun: From an Anthropological Point of View, Journal of Asian and African Studies 18, 263.

1 Comment:

aLby Shidqia said...

Bismillah. Tulisan dan rujukan tentang ibnu khaldunnya luar biasa.

Saya sedang search kitab misbah al-amili, tapi susah ketemu. Barangkali ada informasi. Syukran

Posting Komentar